BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Seiring dengan pembangunan nasional, bahasa
terus berkembang. Proses perkembangan bahasa tidak lepas dari pembangunan
nasional tersebut. Karena dari berbagai penyelenggaraan pembangunan nasional
memerlukan berbagai ragam bahasa yang bisa menimbulkan bahasa ketiga yang dapat
mempengaruhi bahasa yang dipakai pada saat proses penyelenggaraan nasinal
berjalan. Oleh karena itu, bahasa selalu berkembang setiap saat dan kita
sebagai masyarakat bangsa Indonesia yang memiliki bahasa nasional sekaligus
sebagai bahasa negara wajib kita pertahankan sistem bahasa yang murni bahasa
Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu. Atas dasar inilah, kami berusaha
semaksimal mungkin untuk menyusun makalah ini sebagai wujud rasa cinta kami
pada bahasa Indonesia.
Dalam makalah ini, kami mengemukakan tentang
perkembagan bahasa yang dipengaruhi oleh pembangunan nasional. Agar ciri bahasa
Indonesi yang khas agar dapat terjaga sangat diperlukan taraf pembakuan bahasa
dan penyusunan sistem tulisan dapat memperhatikan perbedaan ragam baku dan
subbaku dalam berbagai masalah pembakuan bahasa serta berbagai proses
pemodernan bahasa yang dapat merubah ciri khas bahasa Indonesia.
Dari beberapa hal tersebut di atas, kami
harapkan dapat menyelesaikan berbagai macam masalah kebahasaan khususnya ragam
baku bahasa Indonesia. Walaupun bahasa Indonesia terus mengalami pemodernan
tidak akan merubah kemurnian bahasa Indonesia.
- Masalah
- Apakah ada pengaruh pembangunan nasional terhadap perkembangan bahasa?
- Bagaimanakah ciri-ciri dan situasi diglosia?
- Apa saja kendala dalam pembakuan bahasa?
- Apakah perbedaan ragam baku dan subbaku?
- Dari segi manakah taraf kebakuan bahasa dapat dilihat?
- Apa saja pengaruh pemordernan bahasa?
- Tujuan
- Untuk mengetahui pengaruh pembangunan nasional terhadap perkembangan bahasa.
- Untuk mengetahui ciri-ciri dan situasi diglosia.
- Untuk mengetahui kendala dalam pembakuan bahasa.
- Untuk mengetahui perbedaan ragam baku dan subbaku.
- Untuk melihat proses taraf kebakuan bahasa.
- Untuk mengetahui pengaruh pemordernan bahasa
BAB II
PEMBAHASAN
- Pembangunan Nasional dan Pengembangan Bahasa
Pengembangan
bahasa tidak melalui perencanaan ataupun berkembang dengan sendirinya, tetapi
mengikuti arus perkembangan pembangunan nasional. Masyarakat yang membangun dan
memgembangkan penyelenggaraan tata usaha kenegaraannya di dalam berbagai
bidangnya seperti politik, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi,
organisasi masyarakat lainnya mempunyai jaringan perhubungan dengan masyarakat
lainnya. Hubungan masyarakat tersebut memakai dua bahasa, bahasa pertama dan
bahasa kedua sehingga akan menimbulkan bahasa ketiga. Bahasa ketiga inilah yang
akan memberikan konstribusi pengembangan pada bahasa ke dua masyarakat itu.
Bahasa
nasional antara lain berfungsi sebagai alat yang memungkinkan penyatuan
berbagai masyarakat berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya
kedalam kesatuan kebangsaan Indonesia dan sebagai alat perhubungan pada tingkat
nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta
pemerintahan (Halim: 1976).
Hubungan
timbal balik antara pembangunan nasional dan pengembangan bahasa akan jadi
sangat jelas pada waktu berlangsungnya perubahan masyarakat, misalnya arus
urbanisasi, migrasi dan modernisasi, yang menuntut adanya fungsi-fungsi baru
yang harus dijalankan fungsi-fungsi bahasa.
Menurut
Ferguson (1962;1968), maka usaha pengembangan bahasa mempunyai tiga dimensi
yang berkolerasi dengan tolok ukur pembangunan nasional yang sifatnya bukan
bahasa. Ketiga dimensi itu ialah
1.
Pengaksaraan
2.
Pembakuan
3.
Pemodernan
bahasa
B.
Pengaksaraan
Pengaksaraan
dapat diartikan penggatian pemakaian tata aksara yang sudah lazim dengan tata
aksara lain. Pengaksaraan bahasa mencangkup usaha menciptakan tata aksara atau
tata tulis yang tidak terbatas pada pemilihan sistem ideogram dan menyangkut
aturan lain yang di dalam sistem yang berdasarkan abjad. Pengaksaraan dikaitkan
juga dengan usaha pemberantasan buta huruf atau keniraksaraan orang sehingga
kemampuan baca tulis, atau dengan kata lain, taraf keberaksaraan di antara
pemakai bahasa.
1.
Penyusunan
Sistem Tulisan
Penyusunan
sistem tulisan untuk bahasa yang belum beraksara yang diusahakan dalam rangka
pengembangan bahasa tidak dapat lepas dari aspek politik sosial-budaya
masyarakat bahasa yang bersangkutan. Walaupun analisis dan transkripsi bahasa
ke dalam bentuk tulisan merupakan tugas ahli linguistik, hasil akhirnya hanya
dapat dimanfaatkan jika disetujui dan diterima oleh karangan luas.
Smalley
(1963) memberikan ikhtisar tentang kemungkinan pelambangan ujaran oleh sistem
tulisan pada pelbagai tulisannya. Pada tataran fonetik dapat direkakan tulisan
fonetik yang mampu menandai segala perubahan bunyi yang kecil-kecil. Pada
tataran fonemik dapat disusun ejaan fonemikyang melambangkan fonem, yang pewujudan
fonetiknya dapat berbeda-beda, dengan grafem yang sama. Berdekatan dengan ejaan
fonemik itu ialah sistem aksara sukuan yang tiap-tiap aksaranya.
Sistem
tulisan dimanfaatkan untuk tujuan pelambangan yaitu bentuk perenggan (paragraf)
dengan takuk yang menjorok ke dalam atau dengan spasi antara melambangkan
satuan gagasan. Tanda kutipan ujaran; huruf kapital awal menandai antara lain
nama diri dan pemiringan huruf antara lain menjadi isyarat bagi penegasan.
Joos
(1960) menggambarkan sistem ortografi yang ideal yang memenuhi syarat berikut:
1.
Ejaan
itu sampai taraf tertentu harus bersifat morfofonemik agar kestabilan bentuk
morfem terjaga
2.
Ejaan
itu harus memberikan peluang kepada setiap penutur bahasa sehingga ia dapat
mewujudkan lambang fonem secara fonetis menurut ideoleknya
3.
Ejaan
itu harus seragam sehingga setiap dialek yang termasuk satu bahasa dapat
dilambangkan
Di
samping prinsip fonemik dan morfofonemik, ada juga prinsip etimologi yang
diterapkan pada pasangan kata yang jadi homofon jika dieja menurut prinsip
fonemik. Sedangkan prinsip beban fungsional yang bertalian dengan penting
tidaknya kedudukan distingtif suatu fonem di dalam struktur fonologi bahasa
yang bersangkutan. Jika kekerapan munculnya itu sangat tinggi, fonem itu
dianggap memikul beban fungsional yang berat. Kita dapat menerapkan konsep
beban fungsional itu juga pada tanda pelambang.
Munculnya
usaha yang lazim disebut gerakan pembaruan ejaan atau reformasi ejaan. Berhasil
tidaknya gerkan itu agaknya tidak semata-mata bergantung pada penimbangan orang
tentang baik buruknya rancangan ejaan yang baru, tetapi juga pada sejumlah
faktor yang ada diluarnya yaitu:
1.
Ada
tidaknya tradisi kepustakaan yang sudah lama
2.
Tinggi
rendahnya taraf keberaksaraan di dalam masyarakat
3.
Hidup
tidaknya kebudayaan membaca
4.
Industri
perbukuan
5.
Ada
tidaknya perubahan kemsyarakatan yang ditimbulkan peristiwa politik atau
pergolakan budaya dan yang diungkapkan lewat perilaku kebahasaan
6.
Watak
bangsa
2.
Bahasa
Tulisan
Bahasa
yang sudah memiliki bahasa tulis atau tata aksara dan secara teratur dipakai
dalam tulisan dapat disebut bahasa yang beragam tulisan di samping ragam
lisannya. Ujaranlah yang primer, tulisan yang sekunder. Pendirian itu mungkin
timbul sebagai reaksi terhadap anggapan yang merata di antara orang awam bahwa
bahasa yang sejati adalah ragam tulisan, sedangkan ragam lisan hanyalah seduhan
yang tidak murni lagi. Bahwanya ada anggapan itu jadi petunjuk bahwa ragam
tulisan memang hidup di samping ragam lisan dan ragam tulisan itu mengembangkan
ciri-cirinya yang khas di bidang tata bahasa dan kosa kata, bahkan juga di
dalam struktur fonologinya.
Setelah
ragam tulisan menyebar, semua ragam lisan bahasa tidak dapat lagi
diperikan di dalam kehampaan karena
terjadinya proses pemengaruhan timbal-balik yang dapat berakibat bahwa ragam
lisan dapat berubah ke ragam tulisan akibat sifatnya yang lebih konservatif.
Di
dalam masyarakat bahasa yang lebih besar, sarana komunikasi yang paling sepadan
ialah sandi bahasa yang dapat merentangi perbedaan waktu dan tempa. Bentuk bahasa
itu ialah terutama ragam lisan. Berlainan dengan ragam lisan, ragam tulisan
tidak dapat dikoreksi dengan seketika.
Menurut
Ferguson (1962) yang diikuti Haugen (1969), taraf perkembangan bahasa diukur
dari jurusan jenis tujuan pemakaian ragam tulisan, dibagi dalam beberapa
golongan, yaitu:
1.
Golongan
pertama meliputi bahasa yang tidak atau belum dipakai untuk tujuan penulisan.
·
Penulisan
surat pribadi
·
Pemakaiannya
di dalam surat kabar atau majalah populer
·
Pemakaiannya
di dalam buku yang tidak merupakan terjemahan dari bahasa lain
2.
Golongan
kedua meliputi bahasa yang dipakai untuk tujuan penulisan biasa
3.
Golongan
ketiga mencakupi bahasa yang dipakai untuk merekam penelitian dan penulisan
karya ilmiah yang diterbitkan
4.
Golongan
keempat merangkum bahasa di samping semuanya itu digunakan untuk penerjemahan
karya ilmiah yang ditulis dalam bahasa lain.
C.
Diglosia dan Bahasa
Baku
1.
Ciri-ciri
Situasi Diglosia
Situasi
diglosia dapat disaksikan didalam masyarakat bahasa jika dua ragam pokok
bahasa, yang masing-masing mungkin memiliki berjenis subragam lagi yang dipakai
secara berdampingan untuk fumgsi sosiolinguistik yang berbeda-beda. Ragam pokok
yang satu yang dapat dianggap dilapiskan di atas ragam pokok yang lain,
merupakan sarana kepustakaan kesusastraan yang muncul pada masa lampau
masyarakat bahasa yang lain. Ragam pokok yang pertama dapat disebut ragam
tinggi dan ragam pokok yang kedua dapat dinamai ragam rendah
Situasi
diglosia cenderung muncul di dalam masyarakat bahasa jika salah satu atau dari
ketiga kondisi yang berikut terrnuhi:
1.
Keberaksaraan
terbatas pada lapisan atas masyarakat yang kecil
2.
Adanya
kepustakaan yang dianggap pengejawantahan nilai-nilai budaya yang keramat
3.
Jangka
waktu yang lama (dalam ukuran abad) antara taraf kebreaksaraan masyarakat yang
tinggi dan terjangkaunya kepustakaan itu oleh kebanyakan orang
Di
dalam tradisi diglosia terdapat tradisi yang mengutamakan studi gramatikal
tentang ragam yang tinggi. Hal ini dapat dipahami jika diingat bahwa ragam
itulah yang diajarkan di dalam sistem persekolahan. Tradisi itulah yang
meletakkan dasar bagi usaha pembakuan bahasa. Norma ragam pokok yang tinggi di
bidang ejaan, tata bahasa dan kosa kata. Ragam rendah yang tidak mengenal
modifikasi itu menunjukkan perkembangan ke arah keanekaragaman.
Situasi
kebahasaan menunjukkan dan memperbedakan sekurang-kurangnya tiga diglosia
yaitu:
1.
Merujuk
ke masyarakat bahasa yang secara umum dapat disebut ekabahasa sifatnya
2.
Dapat
disaksikan di dalam masyarakat aneka-bahasa
3.
Melukiskan
situasi kebahasaan yang lebih rumit
2.
Situasi
Diglosia di Indonesia
Ragam
yang menurut tradisi disebut bahasa Melayu Klasik, yang terdapat di dalam
kepustakaan lama,sejak dahulu berfungsi sebagai ragam pokok yang tinggi. Ragam
itu jugalah yang dipakai sebagai bahasa istana, bahasa persuratan dan bahasa
diplomasi. Ragam rendahnya dipakai oleh rakyat jelata yang kebanyakknya masih
niraksarawan.
Dalam
pada itu, terjadi proses lain yang sejajar. Ragam melayu tinggi dan/atau ragam
rendahnya yang menyebar ula karena dibawa oleh saudagar, nelayan dan perantau.
Dua hal dapat terjadi:
1.
Ragam
itu berkembang menjadi dialek melayu yang baru karena jumlah penutur aslinya
dapat bertahan di daerah pemukiman yang baru
2.
Ragam
itu mengalami percampuran dan menjadi pijin di daerah bandar laut dan pusat
perdagangan.
Schrieke
menulis bahwa selama dasawarsa yamg lampau sejenis bahasa perhubungan melayu
sedang berkembang yang dibina oleh kantor Volkslectuur (Balai Pustaka) dan
beberapa koran bumiputra dan yang dipropagandakan oleh beberapa pembicara
berbakat di dalam rapat-rapat pertemuan.
Selanjutnya
kediglosiaan di dalam masyarakat bahasa Indonesia berakibat bahwa ragam bahasa
baku akan dipakai di bidang kehidupan yang juga merupakan wadah bagi ragam
pokok yang tinggi. Kridalaksana (1976) menyebut empat situasi yang yang
menuntut pemakaian bahasa baku
1.
Komunikasi
resmi
2.
Wacana
teknis
3.
Pembicaraan
di depan umum
4.
Pembicaraan
denga orang yang dihormati
Jika
perincian itu diklasifikasi menurut dua perangkat variabel sosiolinguistik yang
silang-menyilang (Stewart 1962):
1.
Perilaku
publik lawan perilaku privat
2.
Perilaku
resmi lawan perilaku tidak resmi akan dipeoleh gambaran kapan pemakaian bahasa
baku itu sifatnya bebas pilih.
Jenis situasi dan pemakaian bahasa
baku
|
Resmi
|
Tidak
resmi
|
Publik
|
Bahasa
baku
|
b.
baku, b. Subbaku atau b. Tidak baku
|
Privat
|
B.
baku, b. Subbaku atau b. Tidak baku
|
b.
subbaku atau b. Tidak baku
|
D.
Pembakuan Bahasa
1.
Norma
Bahasa Baku
Secara
tentatif dapat dikemukakan pendapat bahwa dewasa ini ada dua perangkat norma bahasa
yang bertumpang tindih. Yang satu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk
buku tata bahasa sekolah dan diajarkan kepada para siswanya. Yang lain ialah
norma berdasarkan adat pemakaian yang belum dikodifikasi secara resmi dan
antara lain dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan muda. Keduanya
bertumpang tindih karena di samping berbagai inti bersama ada norma yang
berlaku di sekolah tetapi yang tidak diikuti oleh media dan sebaliknya.
Bahwasanya
ragam tinggi tulisan untuk sementara harus dipakai sebagai dasar patokan
bukanlah hal yang tidak wajar. Karena pemahiran ragam itu diperoleh lewat
pendidikan, kalangan penutur dan penulis
teladan bahasa Indonesia tidak perlu dicari pada elite kekuasaan saja.
2.
Pembakuan
dan Keseragaman
Baku
atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf
tertentu berarti penyeragaman norma dan kaidah. Keseragaman itu tentu tidak
mutlak, baik menurut ukuran waktu maupun menurut ukuran tempat. Salah paham
yang tersebar di kalangan awam berupa anggapan bahwa dengan pembakuan akan
terjadi pembekuan.
Keseragaman
berhubungan dengan ciri bahasa baku yang lain yakni kemantapan atau kestabilan
yang luwes. Kemantapan itu sebenarnya berlaku untuk norma setiap bahasa, di
dalam masyarakat bahasa primer dikarenakan kaidahnya jangan berubah-ubah setiap
kali. Kodifikasi yang berupa ejaan, buku tata bahasa, kamus baku, atau kamus
istilah membantu pemantapan kaidah dan norma bahasa. Pembakuan atau
penstandaran bahasa dapat diselenggarakan oleh badan pemerintah yang resmi atau
oleh organisasi swaata.
3.
Fonologi
dan Ejaan Baku
Realisasi
fonem secara fonetis yang berlainan diakui, tetapi ada kalanya status fonem
/f/, /z/,/s/ dan /x/ diragukan, atau ada statusnya hanyalah sebagai varian
kelanggaman fonem sejati. Berikut ini diajukan pandangan alternatif yang
bertumpu pada konsep diasistem yang dapat menampung:
1.
Semmua
varian fonetis sebagai pewujud fonem yang sama di dalam posisi yang sama
2.
Gejala
interferensi akibat masuknya unsur pungutan yang memperoleh tempat yang tetap,
dan yang mengubah fonotaksis subsistem yang baku
Sistem
konsonan dapat dianggap terdiri atas dua subsistem yang saling berdampingan.
Yang satu berlaku untuk ragam baku, yang lain untuk ragam subbaku. Fonotaksis
yang berhubungan dengan struktur suku kata mencerminkan lagi perbedaan di
antara dua ragam yang bertumpu pada dua subsistem konsonan yang berbeda itu.
Pada
tahun1975 aturan ejaan yang baku di lengkapi dengan buku “Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan” yang secara terperinci menjelaskan
kaidah tentang:
1.
Pemakaian
huruf
2.
Penulisan
huruf
3.
Penuilsan
kata
4.
Penulisan
unsur serapan
5.
Pemakaian
tanda baca
4.
Masalah
Lafal Baku
Pembakuan
lafal Indonesia merupan masalah yang rumit karena situasi keanekabahasaan. Di
samping perbedaan lafal orang seorang sebagai akibat interferensi fonologi
bahasa daerah yang menjadi bahsa pertamanya, terdapat juga kesenjangan antara
fonologi ragam yang baku dan subbaku.
Andaikan
keinginan akan pembakuan laafal diwujudkan sekarang, masalah yang timbul ialah
lafal siapa yang harus dijadikan tolok agar dapat disebut lafal baku bahasa
indonesia. Setakat ini, lafal baku ini dirumuskan dalam bentuk negatif: lafal
yang tidak menunjukkan ciri-ciri kedaerahan.
5.
Masalah
Leksikon Baku
Pembakuan
leksikon diusahakan lewat penyusunan kamus. Bahkan peranan kamus sebagai alat
pembaku bahasa dalam kehidupan sehari-hari sangat besar daripada buku tata
bahasa. Kamus yang paling besar wibawanya di Indonesia ialah kamus umum susunan
Poerwadarminta (1952) yang sejak itu telah engalami revisi yang berulang-ulang.
Kamus itu antara lain dimaksudkan untuk membantu pemakainya memahami kata dan
ungkapan yang terdapat dalam kepustakaan susastra Melayu lama, kamus itu tidak
dapat dianggap perekam leksikon bahasa Indonesia masa kini dalam arti yang
sebenarnya.
6.
Masalah
Tata Bahasa
Tata
bahasa didefenisikan sebagai seperangkat norma yang memerikan pemakaian bahasa,
baik keteraturannya maupun penyimpangan dari keteraturannya itu. Moeliono
(1978) mengajukan tiga jenis ketakpadaan yang menyebabkan keadaan yang
mengambang-ngambang dai dalam pemantapan kaidah tata bahasa yang menyangkut:
1.
Teori
atau wawasan bahasa
2.
Pelaksanaan
wawasan itu
3.
Produk
pelaksanaan teori bahasa
Wawasan
terhadap fonotaksis Indonesia yang tidak bertumpu pada perbedaan ragam baku dan
yang subbaku menghasilkan uraian yang saling bertentangan. Di bidang morfologi,
buku tata bahasa Indonesia yang beredar kurang eksplisit dalam pembedaan
kalimat yang produktif dan yang tak produktif; kaidah yang wajib dan manasuka;
kaidah yang daya terapnya luas dan daya terapnya sempit. Di bidang sintaksis,
masalah hukum D-M dan M-D masih menjadi persoalan karena pengaruh bahasa asing
terhadap bahasa Indonesia. Demi pemantapan kebakuan bahasa, buku tata bahasa
sudah selayaknya memberikan pedoman bagi bentuk idiom yang hingga kini masih
banyak bervariasi.
E.
Perbedaan Ragam Baku dan
Subbaku
1.
Fonologi
Perbedaan
di bidang fonologi yang dapat dicatat setakat ini sekurangnya-kurangnya
mengenai tujuh hal:
1.
Alternasi
vokal
2.
Alternasi
konsonan
3.
Penyerderhanaan
deret vokal
4.
Penyerderhanaan
deret konsonan
5.
Jumlah
fonem frikatif
6.
Penyerderhanaan
diftong
7.
Bentuk
hiper-baku
2.
Morfo-sintaksis
Di
bidang morfo-sintaksis terlihat perbedaan di dalam pemakaian afiks yang menjadi
penanda hubungan paradigmatis atau sintagmatis. Perbedaan itu dapat berupa:
1.
Pelepasan
afiks pada ragam subbaku
2.
Kelainan
dalam pemilihan afiks pada ragam subbaku
3.
Sintaksis
Secara
umum dapat dikatakan bahwa perbedaan di antara ragam bahasa baku dan subbaku di
bidang sintaksis terletak pada taraf kekompleksan struktur. Ragam baku memiliki
kategori sintaksis yang tidak dikenal di dalam ragam subbaku. Di samping itu,
ada kategori di dalam ragam baku diwujudkan dengan morfem, sedangkan di dalam
ragam subbaku hal itu dinyatakan dengan perifrase. Pola paradigmatis di dalam
ragam subbaku lebih simetris; demikian pula halnya di dalam pemakaian sejumlah
preposisi.
4.
Leksikon
Pada
umumnya, ragam bahasa baku berbagi leksikon dengan ragam subbaku. Ada variasi
di dalam bentuk unsurnya, ada juga gejala tumpang tindih di dalam pemakaian
unsur leksikal dan di dalam maknanya. Ragam bahasa baku memiliki sitilah
keilmuan dan teknis yang tidak ada padanannya di dalam ragam subbaku.
Sebaliknya, di dalam ragam subbaku terdapat sejumlah unsur leksikal yang
populer, atau yang distribusi pemakaiannya sangat terbatas , dan yang tidak ada
padanannya di dalam ragam baku. Di samping itu, ada pasangan sinonim yang kedua
unsurnya terdapat di dalam ragam baku, tetapi hanya salah satu yang dipakai di
dalam ragam subbaku.
F.
Taraf Kebakuan Bahasa
Indonesia
1.
Sifat
Instrinsik Bahasa Baku
Ada
dua sifat instrinsik bahasa baku yang pernah disarankan:
1.
Kemantapan
yang luwes (flexible stability)
2.
Kecendekiawan
(intellectualization)
2.
Fungsi
Bahasa Baku
Garvin
dan Mathiot selanjutnya memperbedakan empat fungsi yang didukung oleh bahasa
baku. Tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolis, satu yang bersifat
obyektif. Masing-masing diberi nama:
1.
Fungsi
pemersatu
2.
Fungsi
pemberi kekhasan
3.
Fungsi
pembawa wibawa
4.
Fungsi
sebagai kerangka acuan (frame of reference)
3.
Sikap
terhadap Bahasa Baku
Perangkat
kriteria yang ketiga yang mengukur sikap masyarakat bahasa terhadap masyarakat
bahasa baku terbawa oleh keempat fungsi yang dibawakan di atas, yaitu:
1.
Sikap
kesetiaan; diterbitkan oleh fungsi pemersatu dan fungsi pemberi kekhasan
2.
Sikap
kebanggaan bahasa; yang dihasilkan oleh fungsi pembawa wibawa
3.
Sikap
kesadaran akan norma dan kaidah bahasa baku; yang diakibatkan oleh fungsi
sebagai kerangka acuan
G.
Pemodernan Bahasa
Makna
pemodernan bahasa di sini mencakupi menjadikan bahasa itu bertaraf sederajat
secara fungsional dengan bahasa-bahasa lain yang lazim disebut bahasa
terkembang yang sudah mantap. Pemodernan itu dapat juga dianggap proses
penyertaan jadi warga keluarga bahasa di dunia yang memungkinkan penerjemahan
timbal balik (keantarterjemahan) di dalam berbagai jenis wacana.
1.
Pencendekiawan
Bahasa
Pengukuran
taraf kecendekiawan bahasa Indonesia masih memerlukan telaah lebih lanjut.
Keperluan akan sifat kecendekiawan itu masih disangsikan oleh setengah orang
karena karena sifat itu ditautkan dengan intelektualisme yang merupakan anatema
di dunia pendidikan Indonesia. Ada juga sangkaan bahwa kecendekiawan itu akan
mendesak aspek perasaan di dalam bahasa sehingga bahasa Indonesia sama sekali menjadi ‘kering’.
2.
Pemekaran
Kosa Kata
Cakrawala
sosial budaya yang meluas melampui batas-batas peri kehidupan yang tertutup
menimbulkan adanya keperluan adanya kata, istilah dan ungkapan baru dalam
bahasa. Ada dua masalah yang bersangkutan dengan usaha pemekaran kosa kata.
Yang pertama ialah masalah sumber bagi unsur leksikal yang baru; yang kedua
bertalian dengan cara membentuk unsur yang baru itu dan memadukannya dengan
kosa kata yang sudah ada.
Jika
ditinjau dari taraf penyerapannya ke dalam tubuh bahasa Indonesia, bentuk
pungutan itu ada yang dijadikan unsur kosa kata asing yang terdapat di dalam
kosa kata umum. Golongan yang pertama meliputi bentuk yang melambangkan barang
tau bentuk yang sangat baru bagi masyarakat bahasa pemungut atau yang medan
maknanya sangat khusus di dalam bahasa sumber itu sendiri.
Golongan
pungutan yang kedua dapat diperincimenjadi tiga kelompok:
1.
Unsur
pungutan yang mengalami penyesuaian bentuk fonologi atau ejaannya
2.
Unsur
pungutan yang mengalami proses penghibridan
3.
Unsur
pungutan yang merupakan hasil
penerjemahan
Di
sampina itu, dapat diajukan sekurang-kurangnya enam macam faktor dan
pertimbangan yang rupanya dapat merangsang tindakan pemungutan. Faktor dan
pertimbangan itu ialah:
1.
Prinsip
kehematan
2.
Kejarangan
bentuk asli
3.
Keperluan
akan kata yang searti
4.
Pembedaan
di dalam bahasa sendiri yang kurang cermat
5.
Gengsi
bahasa asing
6.
Kemampuan
berbahasa yang rendah
3.
Pengembangan
Laras Bahasa
Konsep
laras bahasa mengacu ke ragam bahasa yang dipandang dari sudut kelayakannya di
dalam berbagai jenis situasi pemakaian bahasa. Ragam bahasa yang disebut dialek
ciri-cirinya lebih bergantung pada kekhasan penutur bahasa: tempat asalnya,
pendidikannya, tempat tinggalnya sekarang,umurnya. Pemilihan unsur dari laras
bahasa yang berbeda merupakan yang sering dibuat oleh penutur tidak asli dalam
perilaku kebahasaannya.
Penggolongan
laras bahasa dapat dilakukan menurut tiga dimensi yang masng-masing
menggambarkan tipe situasi yang menjadi ajang peranan bahasa di dalamnya.
Perinciannya sebagai berikut:
1.
Laras
bahasa dari sudut pandangan bidang atau pokok persoalan
2.
Laras
bahasa menurut sarana pengungkapannya
3.
Laras
bahasa berdasakan tata hubungan di antara penyerta peristiwa bahasa
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Pembanguna
nasional sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa terutama dengan
munculnya bahasa ketiga. Ciri-ciri dan situasi diglosia dapat ditinja pada
ragam bahasa rendah terutama pada lapisan masyarakat kecil. Pembakuan bahasa
dapat dipengaruhi oleh norma bahasa baku, pembakuan dan keseragaman, fonologi
dan ejaan baku, masalah lafal baku, masalah leksikon baku dan masalah tata
bahasa. Perbedaan ragam baku dan subbaku dapat ditinjau dari fonologi,
morfosintaksis, sintaksis dan leksikon. Sifat intrinsik, fungsi dan sikap terhadap
bahasa baku dapat mempengaruhi taraf kebakuan bahasa. Pemodernan bahasa
dipengaruhi oleh pemekaran kosa kata dan pengembangan laras bahasa.
B.
Saran
1.
Perlu
adanya suatu lembaga yang mengawasi tentang pembakuan bahasa.
2.
Pemeliharaan
ciri khas bahasa perlu diwujudkan dengan sikap dan perbuatan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar